Keberhasilan: anugerah atau bencana?
Minggu yang lalu anak saya yang pertama menerima hasil tes psikologi yang diadakan oleh TK tempat dia bersekolah. Karena kebetulan saya berhalangan untuk mengambil hasilnya, suami saya yang datang dan sekaligus bertemu dengan psikolognya. Tidak lama setelah pertemuan tersebut, suami saya bercerita bahwa anak kami mendapatkan hasil tes psikologi yang cukup baik bahkan bisa dibilang di atas rata-rata teman-teman sekelasnya.
Spontan saya senang dan bangga mendengarnya. Tetapi tak lama saya pun berpikir. Apa jadinya jika anak saya berhasil terus? Apa jadinya jika ia selalu dipuji oleh kami, kakek nenek dan guru-gurunya? Apakah dia nanti akan melakukan sesuatu karena ingin dipuji? Karena ia ingin menjadi nomor satu dan terbaik? Saya takut anak saya menjadi stress dan tidak siap menerima kekalahan jika suatu saat dia tidak berhasil, entah karena suatu sebab. Mungkin tidak seperti orangtua saya yang lain, saya ingin anak saya menjadi anak yang biasa saja.
Biasa saja dalam artian bukan tidak usah berprestasi. Tapi menjadi anak yang normal. Di usianya yang masih sangat muda, saya ingin anak saya lebih banyak memiliki waktu untuk bermain dibandingkan belajar yang sifatnya kaku dan formal. Menjadi anak yang nakal dalam artian baik. Saya ingin anak saya belajar dunia luar dengan mengalaminya sendiri, bukan menghafalkan dari buku. Dan tidak ditarget. Saya ingin anak saya belajar bukan untuk mengejar target menjadi nomor satu dan agar dipuji-puji oleh orang.
Mendengarkan kekhawatiran saya, suami saya pun dengan santai berujar. "Tenang, akan ada waktunya dia menerima kekalahan. Dan di saat itulah kita sebagai orangtua harus menjadi pendengar keluh kesahnya dan menjadi suporter nomor satu" Saya pun terdiam. Ya, mungkin benar apa yang dikatakan suami saya. Mudah-mudahan jika tiba saatnya anak saya tidak menang lomba atau tidak menjadi juara kelas, atau disetrap karena terlambat masuk, ia bisa juga belajar menerima kenyataan yang tidak menyenankan tersebut dengan baik.
Selamat malam :)
Spontan saya senang dan bangga mendengarnya. Tetapi tak lama saya pun berpikir. Apa jadinya jika anak saya berhasil terus? Apa jadinya jika ia selalu dipuji oleh kami, kakek nenek dan guru-gurunya? Apakah dia nanti akan melakukan sesuatu karena ingin dipuji? Karena ia ingin menjadi nomor satu dan terbaik? Saya takut anak saya menjadi stress dan tidak siap menerima kekalahan jika suatu saat dia tidak berhasil, entah karena suatu sebab. Mungkin tidak seperti orangtua saya yang lain, saya ingin anak saya menjadi anak yang biasa saja.
Biasa saja dalam artian bukan tidak usah berprestasi. Tapi menjadi anak yang normal. Di usianya yang masih sangat muda, saya ingin anak saya lebih banyak memiliki waktu untuk bermain dibandingkan belajar yang sifatnya kaku dan formal. Menjadi anak yang nakal dalam artian baik. Saya ingin anak saya belajar dunia luar dengan mengalaminya sendiri, bukan menghafalkan dari buku. Dan tidak ditarget. Saya ingin anak saya belajar bukan untuk mengejar target menjadi nomor satu dan agar dipuji-puji oleh orang.
Mendengarkan kekhawatiran saya, suami saya pun dengan santai berujar. "Tenang, akan ada waktunya dia menerima kekalahan. Dan di saat itulah kita sebagai orangtua harus menjadi pendengar keluh kesahnya dan menjadi suporter nomor satu" Saya pun terdiam. Ya, mungkin benar apa yang dikatakan suami saya. Mudah-mudahan jika tiba saatnya anak saya tidak menang lomba atau tidak menjadi juara kelas, atau disetrap karena terlambat masuk, ia bisa juga belajar menerima kenyataan yang tidak menyenankan tersebut dengan baik.
Selamat malam :)
Comments